Pages

Sunday, October 27, 2013

 Dipostkan by insanur rahman

Perkembangan Teknologi LNG Terapung di Dunia



perthnow.com.au
Oleh
Damar Budi Purnomo/Achmad Fadjar


Kebutuhan akan gas domestik dalam lima dan 10 tahun terus meningkat seiring dengan kemajuan industrialisasi. Satu hal, potensi suplai dari lapangan-lapangan produksi gas juga tersedia meski belum bisa memenuhi permintaan yang ada. Apalagi, cadangan-cadangan gas tersebut lebih banyak tersebar di lokasi lepas pantai (offshore) dan laut dalam (deep water).

Untuk itu, kalangan industri maritim perlu mengantisipasi potensi armada laut bagi kebutuhan minyak dan gas bumi. Prospek pertumbuhan gas harus diimbangi dengan infrastruktur yang memadai seperti floating storage regasification unit (FSRU), floating production storage and offloading (FPSO), dan floating liquified natural gas (FLNG). Belum semua dari infrastruktur bisa dibangun di dalam negeri.

Wahana FLNG atau biasa juga disebut LNG terapung merupakan sebuah sistem pengolahan dan pencairan gas alam langsung di lepas pantai. Menurut Huberth D Mailoa, pemerhati sistem LNG terapung kepada JurnalMaritim beberapa waktu silam, wahana tersebut juga kerap disebut sebagai LNG FPSO.

Di dalam LNG FPSO secara umum terdapat peralatan untuk memproses gas alam mentah untuk dipisahkan dari (Natural Gas/NG) yang berasal dari sumur produksi dari unsur-unsur ikutan seperti minyak/condensat, air, pasir, dan gas ikutan lainnya. Hal kedua, dalam FLNG ini, terdapat peralatan untuk mendinginkan gas alam tersebut (liquefaction) menjadi gas alam cair (LNG). Kemudian, tangki-tangki penyimpanan atau penimbunan LNG dan terminal untuk pengapalan terdapat di atas suatu sistem terapung.

Adapun wahana FSRU bisa diartikan sebagai terminal penerima LNG (impor terminal) terapung. Di dalam FSRU secara umum terdapat peralatan untuk mengalirkan LNG (regasifikasi), tangki-tangki penimbun LNG, dan peralatan penyaluran gas ke konsumen terdapat di atas floating system (kapal).

Huberth menguraikan, perkembangan teknologi FLNG/FSRU di Indonesia dapat dikatakan hanya berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi kelautan dan teknologi dalam proses pengilangan LNG. Pembangunan proyek FLNG/FSRU umumnya dipicu oleh masalah lokasi untuk kilang LNG yang cocok, aman, perairan yang dalam dan terlindung untuk pemuatan ke kapal ekspor. Instalasi ini lebih efisien dibandingkan memproses perizinan, pembebasan tanah, dan waktu pembangunan yang lama jika lokasi kilang tersebut dibangun di darat (land base).

Sulitnya menemukan ladang migas yang komersial di darat maupun di laut dangkal menjadikan percepatan perkembangan teknologi terapung (instalasi eksplorasi/eksploitasi migas

terapung) agar dapat bereksplorasi/eksploitasi di laut dalam. Ini sejalan dengan kemajuan teknologi terutama di bidang material dan kelautan (hydrodynamic dan mooring system).

Penggunaan kapal FLNG/FSRU di dunia kemaritiman sudah dimulai sejak awal 1970. Perusahaan minyak dan gas dunia seperti Chevron, Elf, ConocoPhillips menggubah kapal pengangkut LPG menjadi LPG FSO dan LPG FPSO. Pada tahun 2005 Cabinda Gulf Oil Company berhasil membangun dan mengoperasikan Sanha LPG FPSO yang merupakan LPG FPSO pertama di dunia yang kemudian meyakinkan dunia industri perkapalan dan perminyakan untuk menggunakan FLNG dan FSRU.

FLNG/FSRU sudah mulai beroperasi di beberapa negara sejak tahun 2009. Tetapi pada tahun 2005, sudah ada kapal LNG yang beroperasi dilengkapi dengan peralatan regasifikasi (LNG Regasification Vessel). LNG SRV Excelsior merupakan kapal LNG SRV yang pertama di dunia yang dioperasikan oleh perusahaan EXMAR (Belgia) dan El Paso (USA) di Teluk Mexico.

Namun untuk saat ini belum ada satupun FLNG yang telah beroperasi di dunia. FLNG pertama di dunia baru akan beroperasi pada tahun 2014 di Australia. FLNG Perlude tersebut sedang dibangun di Korea Selatan. Dikabarkan, wahana FLNG itu terbesar di dunia karena panjang dan bobotnya lebih besar dari kapal induk milik Amerika Serikat. Jadi dapat dikatakan teknologi FLNG sendiri masih baru, dan masih berkembang. Saat ini, setidaknya terdapat 12 proyek FLNG lainnya. Proyek tersebut masih dalam tahap front end engineering design (FEED) atau under review.

(Tabel proyek FLNG di negara lain)

Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini salah satu kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yaitu INPEX sedang melakukan FEED untuk proyek FLNG Abadi di lapangan Abadi, Blok Masela, Tanimbar, Maluku.

“Dapat dikatakan teknologi yang dipakai pada FLNG/FSRU sudah terbukti terpakai di dunia kemaritiman. Ini juga dapat dilihat dari penggunaan vaporizer pada kapal LPG dan LNG. Walupun berkapasitas kecil, peralatan vaporizer yang digunakan untuk proses regasifikasi merupakan alat penting pada full refrigerated LPG carrier dan kapal LNG,” ujar Huberth yang kini bekerja di ConocoPhillips itu.

Vaporizer tersebut digunakan untuk menguapkan LPG/LNG, untuk mendinginkan tangki-tangki sewaktu pemuatan dan juga untuk menjaga terjadinya thermal stress pada konstruksi tangki. Pada FSRU, unit vaporizer ini dirancang sesuai kapasitas gas yang disuplai ke konsumen.

Sebelumnya, FLNG/FSRU Nusantara Regas Satu sudah beroperasi di teluk Jakarta sejak tahun lalu, dan masih ada tiga buah FSRU lagi yang sedang dalam tahap pembangunan untuk dipasang di Jawa Tengah, Jawa Barat dan di Lampung. Kalau dilihat dari peta cekungan geologi yang mengandung hidrokarbon dan ketersediaan infrastruktur terutama di daerah timur, maka penggunaan FLNG dan FSRU akan terus bertambah jumlahnya.

Satu hal, ia pun memaparkan unit FLNG/FSRU bukan hanya mengelola gas tetapi juga mampu menghasilkan tenaga listrik. Sebagai ilustrasi, unit dengan ukuran 30.000–50.000 DWT

dapat menghasilkan tenaga listrik 5-10 Mwe. “Tentu saja hal seperti ini dapat sangat membantu saudara kita di pulau-pulau terpencil Indonesia timur. Deaerah mereka kaya akan gas bumi namun masih jarang yang teraliri listrik,” kata pria yang akrab disapa Berty tersebut.

SDM Indonesia

Berkaitan dengan mengelola kebutuhan suplai gas itu, apakah sumber daya manusia (SDM) Indonesia maupun infrastruktur di dalam negeri sudah mendukung? Kepada JurnalMaritim, lulusan ITS ini menjelaskan kemampuan Indonesia dalam membangun kapal FLNG/FPSO dari segi SDM (engineering atau rekayasa), kemampuan operasi dan produksi serta kemampuan pendanaan dalam membuat FLNG/FPSO.

Menilik keahlian insinyur Indonesia dalam merekayasa dan memproduksi kapal FLNG di dalam negeri, Berty berpendapat masih belum bisa. Hal itu bisa dilihat dari keseluruhan teknologi dan proses yang berkaitan dengan rantai suplai gas pada kapal LNG, FLNG, dan FSRU saja, jelas SDM kita belum mampu! Walaupun kita memiliki Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional (Nasdec) di ITS dan Laboratorium Hydrodinamika BPPT di Surabaya dengan SDM yang memadai, kita belum dapat membangun kapal jenis LNG, FSRU apalagi FLNG.

Masalah lain adalah Indonesia belum memiliki infrastruktur galangan yang berpengalaman membangun kapal di atas 50.000 DWT, apalagi tangki (containment system) untuk kapal LNG. Namun insinyur Indonesua sudah mampu dan andal dalam mendesain dan membangun peralatan produksi, pengolahan yang ada di atas di FLNG dan FSRU. Sebetulnya, peralatan di atas FLNG dan FSRU itu sama seperti peralatan yang digunakan, pada kilang pembuat LNG maupun penerima di darat. “Ide FLNG/FSRU itu hanya memindahkan kilang LNG di darat ke laut! Jadi sebaiknya kita melihat secara menyeluruh bukan hanya dari sisi pembuatan kapal LNG saja,” ungkap Berty.

Saat ini sudah banyak perusahaan rekayasa dan tenaga kerja nasional telah menguasai teknologi dan mampu mendesain peralatan pengolahan/penyaringan gas alam. Perusahaan itu dapat merancang bangun peralatan produksi minyak dan gas di lepas pantai (offshore platform) maupun kilang LNG seperti di Bontang, Arun, dan Tangguh. Di antaranya perusahaan itu juga ada yang mengikuti tender EPCI kilang LNG maupun FLNG secara internasional. Selain perusahaan nasional ada beberapa perusahaan asing yang memiliki pusat desain dan mempekerjakan tenaga nasional. Jadi jelas bangsa kita telah mampu menguasai teknologi pengolahan gas alam.

Fabrikator komponen peralatan migas di Batam, Kepulauan Riau, saat ini sudah melayani hampir 20%-30% kebutuhan peralatan Topside FPSO di seluruh dunia. Pemesan datang dari Brasil, Afrika Barat, Rusia, Australia dan Asia. Walaupun di antara fabrikator tersebut terdapat fabricator milik asing yang memperkerjakan tenaga asing. Boleh dibilang, mereka itu bukan marketing office yang hanya menjual produk mereka di sini. Banyak tenaga Indonesia lulusan perguruan tinggi terbaik, bekerja dan berkolaborasi dengan tenaga asing di Batam. Mereka menghasilkan karya rekayasa terbaik yang kemudian dibuat dan dibangun oleh tenaga Indonesia pula sebelum dilego ke mancanegara.

Hanya saja penguasaan teknologi LNG ini belum dikuasai awak Indonesia. Sebagai contoh, proses pendinginan (liquefaction) gas methane (C1) belum dapat dijalankan oleh putra bangsa. Ada beberapa cara proses liquefaction yang dipakai pada kilang LNG, tetapi semua proses tersebut dilindungi dengan hak paten. Pihak Indonesia harus membeli hak pakai dari pemegang

hak paten seperti ConocoPhillps, Mobil Oil, Technip, Linde atau Black & Veatch. Jadi walaupun tekologi pendinginan itu dapat dipelajari dan dikuasai, kita tidak dapat menggunakannya tanpa izin dari pemegang hak paten. Pemegang paten biasanya hanya memberikan hasil perhitungan pemindahan panas dan termodinamika. Lazimnya, mereka menyembunyikan proses, metoda, cara perhitungannya. Kesempatan yang diberikan oleh pemegang paten dalam proses desain sebatas membuat detail desainnya, sebab bagian itu memang sudah dapat dikerjakan oleh perusahaan rekayasa domestik.

Dari segi operasional FLNG dibagi dalam dua grup, yaitu operasi produksi dan operasi marine. Grup produksi, mengoperasikan peralatan produksi, pengolahan dan pencairan gas menjadi LNG, sedangkan grup marine mendistrubusikan dan menimbun LNG dalam tangki sesuai dengan stabilitas kapal dan menyalurkannya ke kapal ekspor. Grup marine juga menjaga agar suhu LNG tetap stabil di dalam tangki, mengoperasikan, mooring system, pembangkit listrik, uap, akomodasi dan utilitas lainnya. Operasi FSRU dapat dilakukan seluruhnya oleh eks kru kapal LNG (tenaga pelaut) seperti halnya pada FPSO.

Penyediaan SDM untuk LNG, Indonesia tidak kalah. Sebagai negara perintis pengolahan LNG sejak akhir tahun 1970-an, tentu Indonesia dijadikan rujukan negara lain. PT NGL Badak di Bontang, Kalimantan Timur telah lama mencetak dan mendidik pekerja LNG yang datang dari Norwegia maupun Australia. Di Bontang telah lama berdiri LNG Training Center. Tenaga Indonesia yang berpengalaman pengoperasian LNG plant alumni Bontang dan Arun. Mereka telah menyebar hampir di semua kilang LNG di seluruh dunia (Norwegia, Aljazair, Australia, dan Qatar).

Indonesia juga sudah mempunyai perusahaan pelayaran khusus pengangkut LNG dan LPG yang telah beroperasi sejak awal 1980-an. Pertamina bersama mitra KKKS telah memasang dan mengoperasikan sebuah instalasi LPG FSO (Arco Arjuna) yang pertama di dunia di laut Jawa sejak tahun 1978. Instalasi tersebut beroperasi dengan aman dan baru dinonaktifkan pada awal tahun 2000-an. Dengan demikian telah banyak SDM yang mampu mengoperasikan kapal-kapal pengangkut dan penimbun gas alam cair!

Pembiayaan

Proyek FLNG Masela, FSRU Nusantara Gas Satu, FSRU Jawa Barat, FSRU Jawa Tengah, dan FSRU Lampung sebagian besar dibiayai oleh pemerintah melalui mekanisme cost recovery dan pernyertaan modal. Pihak swasta diikutsertakan adalah swasta asing dengan cara berkongsi dengan perusahaan BUMN.

Dari pengamatan Berty, kecuali FLNG Masela, pelelangan pengadaan keempat FSRU itu diadakan tanpa publikasi kepada masyarakat (swasta nasional) kalau tidak disebut pelelangan diam-diam atau penunjukan langsung. Hal itu dilakukan dengan cara pihak BUMN menggandeng perusahaan asing, membentuk perusahaan patungan. Pihak BUMN lalu menunjuk perusahan patungan tadi untuk pengadaan FSRU. Dalam pelaksanaanya pihak asing seakan-akan mendikte perusahaan patungan dan BUMN. Kenyataannya perusahaan patungan itu hanya bertindak sebagai pengembira saja. Pengadaan FSRU yang dikonversi dari kapal LNG tua berumur lebih dari 35 tahun dengan harga kontrak US$500 Juta dinilai sangat fantastis. Kapal LNG tersebut (LNG Khannur) type Moss generasi pertama, dibangun tahun 1977 – seharusnya dijadikan besi tua, karena sudah tidak ekonomis.

Menyikapi pengadaan FSRU itu, Huberth mencurigai Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN didikte oleh pihak asing. Pemerintah sepertinya tidak yakin akan kemampuan swasta nasional, sehingga lelang keempat proyek tersebut hanya untuk memenuhi prosedur.

Jika ada lelang pengadaan FSRU dilakukan secara terbuka, perusahaan swasta nasional, menurut Berty dapat berbuat lebih bukan hanya menjadi sekadar penggembira. Perusahan asing seperti Golar, Hoegh, SBM atau Exmar, dalam pengadaan FSRU/FLNG juga tidak mampu bekerja sendiri. Mereka tidak dapat membangun sendiri tetapi mengikutsertakan pihak ketiga (engineering, galangan kapal) sebagai subkontraktor. Perusahaan asing itu juga menggunakan tenaga kontrak yang profesional untuk mengelola proyeknya, hal yang sama dapat dilakukan oleh swasta nasional. Mereka juga tidak membiayainya sendiri, tetapi melalui pinjaman dari bank atau lembaga finansial lainnya. Hal yang sama dapat dilakukan oleh perusahaan swasta national. Capital cost US$500 juta lebih untuk proyek FRSU walaupun dinilai fantastis, tetapi banyak perushaan swasta nasional yang mempunyai kredibilitas dan mudah mendapatkan pinjaman bank dalam maupun luar negeri.

“Saya yakin pengusaha, atau perusahaan nasional mampu untuk memanage dan mendanai sendiri proyek-proyek FLNG dan FSRU jika diberi dapat lolos tahap prakualifikasi lelang,” tukas Berty.

(Tabel FSRU West Java).

Sampai saat ini menurut Berty belum ada satupun kapal FLNG yang beroperasi di dunia. Namun di Indonesia untuk FSRU sudah ada ( Nusantara Regas Satu), dengan beberapa fasilitas FLNG yang ditentukan dari produksi sumur gas alam alam yang tersedia. Tangki LNG pada kapal LNG/FLNG hanya dapat dibangun oleh galangan yang telah memiliki hak pakai paten desain tangki LNG. Galangan tersebut hanya ada di Jepang, Korea, Spanyol, dan Norwegia. Sejumlah galangan kapal di China juga sudah mampu membuat untuk LNG vessel skala kecil alias mini LNG. Namun, teknologinya belum proven dan mereka tidak mengacu pada desain yang dipatenkan perusahaan Eropa, Jepang, dan Korea.

Tantangan

Lebih lanjut, Huberty selaku FPSO Marine Specialist menjelaskan, dalam proses produksi minyak dan gas bumi tentunya terdapat banyak sekali tantangan dan kendala, salah satunya adalah kebocoran. Hal-hal seperti itu pastilah harus dipikirkan untuk diantisipasi. Transportasi LNG lewat laut mempunyai safety record terbaik di antara moda transportasi barang lainnya. Desain dan pengoperasian kapal LNG wajib menerapkan syarat keamanan yang sangat ketat. LNG tidak akan terbakar atau meledak jika masih dalam bentuk cair. Kalau berupa gas, akan mudah terbakar. LNG saat menetes/bocor akan langsung menguap dan membentuk awan (cloud) dan gumpalan es seketika. Jika menetes pada pelat baja, akan retak dan rapuh.

SIGTTO (Society of Gas Tanker and Terminal Operator) mengatur dan merekomendasikan tatacara penanganan keamanan dan keselamatan pada kapal LNG dan LPG termasuk cara penanganan yang aman dalam proses bongkar muat LNG dari/ke kapal. Setiap operator terimal

gas di darat, maupun terapung (FSRU, FLNG) dan para kru kapal LNG harus terlatih dalam penanganan gas secara aman sesuai dengan rekomendasi SIGTTO.

Penanganan dari unit liquefaksi sampai pada FSRU perlu cara khusus mengingat jika LNG bocor akan terjadi pembekuan udara (cloud) dan air di sekitarnya secara seketika. Selain itu apabila sudah menjadi gas terutama gas hydokarbon yang mudah terbakar. Karena LNG mempunyai suhu sangat rendah (minus 164 C) dan dapat berekspansi 6 x lebih besar dari volume awal maka akan terjadi thermal impact jika bocor dalam jumlah besar. Volume sebesar 6 M3 gas apabila menjadi LNG hanya tinggal 1 M3 saja. Tumpahan LNG di pelat geladak kapal dapat menyebabkan katastropi, struktur kapal menjadi rapuh dan dapat patah seketika (cryogenic fracture).

(Diagram kapal FLNG)

Proses pendinginan gas alam (NG) menjadi cair (LNG). Secara sederhana sama seperti lemari es (refrigerator) di rumah. Gas alam itu didinginkan sampai mencapai suhu kurang lebih minus 164 derajat celcius dan tekanannya dijaga sedikit diatas tekanan atmosfir (+/- 0,5 atm). Pada prinsipnya jika tekanan dan suhu LNG tersebut diturunkan maka LNG itu akan mencair. Ada beberapa metode pendinginan yang telah di patentkan antara lain “Cascade Refrigerant Cycle” oleh ConocoPhillps atau Open Cycle Expander oleh Mustang Engineering.

“Risiko yang terjadi tidak pada prosesnya tetapi operasinya, yaitu dapat terjadi kebakaran, meledak atau cryogenic fracture pada struktur bangunan. Sebaliknya jika LNG diuapkan untuk menjadi gas kembali, secara sederhana LNG tadi dipanasi dengan uap atau air laut yang mempunyai suhu lebih tinggi,” jelas Berty.

Di Jepang, dalam proses regasifikasi, LNG dimanfaatkan untuk mendinginkan cold storage para nelayan di sekitar terminal, dengan menyalurkan sebagian LNG melalui pipa kecil pada container cold storage. Suhu LNG yang dingin diserap oleh cold storage, dan LNG menjadi panas dan bervaporasi. Suatu bentuk simbiose yang baik, walaupun jumlah sedikit, perusahan gas dapat mengurangi kebutuhan uap pemanas LNG, sedangkan para nelayan tidak perlu membeli mesin pendingin dan refrigerant untuk cold storage mereka.

Wahana FLNG/FPSO yang notabene merupakan teknologi baru saat ini, diharapkan menjadi peluang bagi dunia usaha nasional untuk dapat berpartisipasi dalam projek FRSU maupun FLNG. Setidaknya hal itu bisa dimulai dalam skala kecil. Pemerintah dapat mengambil inisiatif melalui BUMN bersama-sama perguruan tinggi, galangan nasional dan perusahaan swasta nasional melakukan riset atau proyek percontohan skala mini. Misalnya, membangun FGSPGU (Floating Gas Storage and Power Generation Unit) ukuran mini untuk digunakan di daerah tertinggal. Gas alam ditampung dalam bentuk CNG atau LNG serta listrik yang dihasilkan bisa dialirkan untuk daerah sekitar.

No comments:

Post a Comment